• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Fomo, Dampaknya pada Kesehatan Mental Remaja

MAHASISWA BERSUARA: Fomo, Dampaknya pada Kesehatan Mental Remaja

FOMO (Fear of Missing Out) bisa diartikan sebagai rasa takut ketinggalan informasi dan pengalaman di media sosial.

Nabillah Sekar Asri Maheswari

Mahasiswa asal Sukoharjo

Tangan petugas kesehatan di klinik kesehatan jiwa di Bandung, beradu dengan tangan pasien dalam suatu proses pemeriksaan kesehatan mental, Jumat (4/3/2022). (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

10 Januari 2024


BandungBergerak.id – Perkembangan teknologi di masa ini membuat siapa saja bisa dengan mudah mengakses informasi dari banyak pihak terutama melalui kemunculan internet yang diiringi keberadaan media sosial. Media sosial saat ini menyajikan segudang hal baru bernuansa segar dan biasanya akan ramai diperbincangkan oleh penggunanya. Penyajian ini dapat berupa sebuah informasi seperti  berita akan suatu peristiwa, tempat wisata baru, rekomendasi restoran, inovasi menu makanan, musik yang baru saja rilis, dan lain-lain. Jika hal ini terus-terusan dibahas dan diperbincangkan dalam suatu topik pembicaraan yang ramai, kelak akan menjadi satu tren baru yang bisa dijadikan standar para penggunanya untuk menjalani aktivitas dan kegiatan mereka sehari-harinya.

Internet dan media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian para penggunanya termasuk para remaja Indonesia. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022, penetrasi pengguna internet di Indonesia mencapai 84,7% dengan pengguna terbanyak berusia 15-19 tahun (97,2%). Platform media sosial paling populer di kalangan remaja adalah Youtube (96,8%), WhatsApp (96,2%), Instagram (91,2%), Facebook (82,4%) dan TikTok (80,8%). Melalui platform-platform ini, remaja mengakses informasi, berinteraksi, hingga berekspresi dan menunjukkan jati diri mereka secara online. Laporan Digital 2023 oleh Hootsuite dan We Are Social menyebutkan rata-rata remaja Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 26 menit per harinya untuk mengakses internet melalui perangkat mobile.

Media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan remaja saat ini. Platform seperti Instagram, Snapchat, TikTok, dan media sosial lainnya memungkinkan remaja terhubung dan berbagi momen dalam kehidupan mereka secara instan. Namun, di balik konektivitas yang ditawarkan media sosial, ada efek samping yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan mental remaja, yaitu FOMO atau Fear of Missing Out.

Baca Juga: Menanti Terobosan untuk Segudang Masalah Kesehatan Mental di Indonesia
Mencari Konsensus dari Perspektif Prioritas Kesehatan Mental Antargenerasi
Edukasi dan Masalah Kesehatan Mental pada Remaja

FOMO

Penggunaan media sosial berlebihan ini dapat berisiko memicu FOMO (Fear of Missing Out) yang bisa diartikan sebagai rasa takut ketinggalan informasi dan pengalaman di media sosial. Orang yang mengalami FOMO cenderung memiliki kebiasaan untuk memeriksa media sosial terus menerus untuk melihat update, takut melewatkan postingan penting, mulai membandingkan pengalaman mereka dengan orang lain, dapat merasa kurang puas dengan apa yang mereka miliki, dan berkeinginan untuk selalu hadir secara digital agar tidak ketinggalan info.

Survei UNICEF 2019 menemukan 35% remaja Indonesia mengalami kecanduan internet yang berdampak pada kesehatan mental. FOMO membuat remaja selalu merasa perlu memeriksa media sosial bahkan saat belajar dan bersosialisasi. Akibatnya muncul perasaan cemas, depresi, hingga gangguan tidur karena terbebani konten media sosial. Remaja perempuan rentan mengalami FOMO dan perbandingan diri yang merusak harga diri.

Beberapa studi menunjukkan korelasi antara tingginya tingkat FOMO dengan depresi, kecemasan, bermasalah dalam relasi sosial, gangguan tidur, dan berkurangnya konsentrasi pada remaja. Penelitian di Universitas Penn State pada 2018 menemukan bahwa remaja dengan FOMO tinggi lebih mungkin mengalami kesedihan dan isolasi sosial. FOMO juga dikaitkan dengan body image issues karena perbandingan diri yang berlebihan di media sosial.

Di mana depresi dan kecemasan berasal dari FOMO yang membuat para remaja merasa tidak puas dengan pencapaian dalam kehidupan mereka saat ini dan merasa tertinggal dari orang lain. Perasaan ini dapat memicu atau memperburuk kecemasan dan depresi. Remaja yang terlarut dalam FOMO biasanya lebih asyik berselancar dalam media sosial dan berada di dunia maya yang menyebabkan kurang berinteraksi langsung bisa membuat hubungan sosial menjadi renggang dan menimbulkan masalah dalam relasi sosial. Sementara gangguan tidur dipicu dari perilaku kecanduan dalam bermedia sosial, seperti scroll TikTok sampai lupa waktu dan menyebabkan susah tidur atau sering terbangun untuk memeriksa ponsel. Ini berdampak pada kualitas tidur para remaja. Kualitas tidur yang buruk dan masih adanya pikiran untuk bermedia sosial  membuat seseorang sulit berkonsentrasi pada tugas atau aktivitas lainnya.

Merusak Kesehatan Mental

Selain masalah mental emosional, kecanduan media sosial akibat FOMO juga berisiko menyebabkan gangguan fisik seperti sakit kepala, leher dan mata karena terlalu lama menatap layar gawai. Untuk mengurangi FOMO dan risikonya, remaja perlu diajarkan strategi seperti mengatur waktu penggunaan media sosial, memprioritaskan aktivitas lain, dan menyadari bahwa apa yang diposting di media sosial tidak selalu mencerminkan realita. Dukungan keluarga dan teman sebaya juga penting agar remaja tak terjebak dalam spiral FOMO yang merusak kesehatan mental.

FOMO sendiri bisa terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang terpenting adalah karena para remaja ini kurang dalam mempunyai aktivitas yang positif dan terlalu banyak dalam menghabiskan waktunya dalam bermedia sosial dan akhirnya mengalami ketergantungan bermedia sosial yang lama-kelamaan menjadi kecanduan dan sulit untuk lepas dan jauh dari keberadaan media sosial. Karena adanya kecanduan dalam bermedia sosial itu juga bisa memengaruhi para remaja untuk terlalu terpaku pada tren baru yang banyak bermunculan dan takut untuk dianggap ‘kuno’ karena tidak mengikuti perkembangan tren yang ada. Terlalu banyak terfokus untuk melakukan tren akhirnya menjadikan para remaja menanamkan pada pemikiran mereka untuk selalu standby dalam bermedia sosial terutama dalam menyambut tren baru yang akan datang nantinya.

FOMO merupakan tantangan baru bagi kesehatan mental remaja di era digital. Untuk mencegah efek negatifnya, edukasi mengenai dampak FOMO dan penggunaan media sosial yang sehat dan bijak mutlak diperlukan. Remaja perlu didorong untuk menemukan identitas dan kepercayaan diri mereka tanpa dibayang-bayangi perbandingan di media sosial. Dukungan teman sebaya dan keluarga juga diperlukan untuk saling mengingatkan bahaya FOMO.

Dengan disiplin dan kerja sama semua pihak, remaja dapat tetap menikmati kemudahan teknologi digital tanpa dibelenggu FOMO. Kesehatan mental remaja harus dijaga agar mereka dapat berkembang optimal menjadi generasi emas bangsa. Dengan strategi yang tepat dan dukungan sosial, remaja dapat menikmati manfaat media sosial tanpa risiko FOMO yang merusak mental.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//